Pro Kontra RUU BPJS

Keringat Buruh. Rancangan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) telah menjadi perbincangan yang hangat maupun perdebatan di antara berbagai kalangan, baik di dalam maupun di luar parlemen. Sejumlah unjuk rasa yang menentang pengesahan RUU tersebut muncul dari kalangan serikat buruh dan organisasi-organisasi massa, sedangkan unjuk rasa yang mendukung pengesahannya muncul dari massa partai politik dan organisasi massa. Keduanya seolah mengiringi perdebatan panas di antara pemerintah dan Panja RUU BPJS DPR, yang berlangsung di gedung parlemen.


Permasalahan yang dikandung dalam RUU BPJS cukup banyak. Sebagian pengamat melihat bahwa konseptualisasi penyelenggaraan jaminan sosial dengan penggabungan BUMN-BUMN penyelenggara asuransi sosial, seperti Jamsostek, Askes, ASABRI, dan Taspen adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Lebih-lebih karena di dalam praktiknya, badan-badan asuransi sosial tersebut telah memiliki mekanisme dan langgam kerja yang tidak mudah disesuaikan ke dalam semacam sistem administrasi satu atap dengan badan asuransi yang lain.

Sebagian pengamat lain menyatakan bahwa RUU BPJS-SJSN bukanlah produk hukum tentang Jaminan Sosial, melainkan tentang Asuransi Sosial. Sementara itu, kalangan DPR berpendapat bahwa bagaimanapun soalnya RUU BPJS harus segera disahkan karena RUU ini merupakan amanat dari UU SJSN yang telah disahkan tujuh tahun yang lalu. Dengan begitu, secara umum tampak bahwa perdebatan tersebut seperti antara pihak yang ingin melihat lebih jauh konsekuensi penerapan RUU BPJS dengan pihak yang ingin segera mengesahkan RUU tersebut apa pun kekurangannya.

Misalnya seperti pendapat yang menyatakan bahwa jika RUU BPJS disahkan, dana yang ada di setiap BUMN asuransi sosial dapat dikumpulkan, dan dengan demikian seluruh rakyat Indonesia dapat menikmatinya. Seolah-olah setelah dana itu dikumpulkan secara langsung pasti rakyat akan dapat menikmatinya dan sejahtera. Jadi terkesan kesejahteraan itu adalah semata karena RUU BPJS, dan dengan demikian RUU BPJS itu adalah sumber kesejahteraan rakyat.

Di dalam bagian konsideran dari RUU BPJS ditegaskan bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional “merupakan program negara [yang] bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat ”. Ini pernyataan yang aneh. Apa yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional bukanlah sebuah program, melainkan sebuah realisasi dari kewajiban negara untuk memberikan jaminan sosial kepada rakyat dalam bentuk kerangka pemikiran tentang pengorganisasian jaminan sosial.

Lalu seperti apa sistem itu, dalam UU SJSN disebut itulah asuransi sosial. Sementara itu, dalam UU BPJS tidak digambarkan bahwa itu adalah asuransi sosial. Apa pun persoalannya sekarang semuanya menjadi semakin jelas bahwa permasalahan dasar RUU BPJS SJSN adalah ketidakmampuannya dalam merumuskan siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan jaminan sosial.

Menariknya kemudian, karena jaminan sosial adalah “program negara” maka dalam Bab III UU SJSN ditetapkan tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional yang bertanggung jawab terhadap kepala negara.

Tampaknya tidak aneh, tetapi justru di sana tidak masuk akalnya. Mengapa, karena setelah negara perannya dikecilkan dalam konseptualisasi jaminan sosial, tiba-tiba pada saat penyelenggaraannya kembali, negara yang harus bertanggung jawab lewat BPJS dan Dewan Jaminan Sosial Nasional. Apa ini maknanya? Tidak rumit untuk menjawabnya.

Artinya jaminan sosial adalah sesuatu yang siap diperjualbelikan, adalah yang serupa komoditas perdagangan. Lebih-lebih dengan fakta aset Rp 190 triliun yang dimiliki Jamsostek, Askes, ASABRI, Taspen, maka penggabungannya menjadi satu komoditas tunggal menjadi tak terhindarkan. Bahkan, dalam Pasal 8 RUU BPJS ditegaskan bahwa BPJS memiliki kewenangan untuk menginvestasikan dana amanat, atau dana peserta jaminan sosial. Tentunya realitas ini begitu menggiurkan bagi para investor, tetapi menyeramkan bagi rakyat miskin.

Hal terakhir, yang cukup mengenaskan adalah bahwa RUU tersebut tidak berhasil merumuskan siapa yang berhak mendapatkan jaminan sosial, kecuali kata “fakir miskin” atau penerima bantuan iuran dan para peserta asuransi sosial Jamsostek, ASABRI, Askes, dan Taspen. Siapa itu fakir miskin? Pasal 14 UU SJSN tidak bisa merumuskannya dengan jelas.

Dengan RUU BPJS yang merupakan turunannya di tingkat praktis, semakin tidak mampu melihat realitas bahwa ada lebih dari 30 juta orang Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Siapa yang memiliki uang, yang sanggup membayar iuran asuransi sosial itu lah subyek hukum. Sementara itu, yang tidak sanggup biarlah menunggu definisi dari peraturan pemerintah tentang siapa diri mereka sebenarnya.

Berangkat dari pemaparan di muka, semakin jelas bahwa “salah tulis” ataupun “salah pikir” dalam penyusunan RUU BPJS SJSN memiliki konsekuensi yang tak sederhana dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Tampaknya, kata “program” tidak pernah dipikirkan dengan baik konsekuensinya ketika ditulis sebagai RUU BPJS, sekalipun kata itu memiliki nuansa kesementaraan ataupun kesegeraan yang kuat. Jika kesementaraan itu tidak menyangkut hajat hidup orang banyak tidaklah masalah. Tetapi, seandainya masa depan dan hari tua kita yang dipertaruhkan, sebaiknya kewajiban negara yang seharusnya menentukan masa depan warganya. (Sumber: Sinar Harapan, 20 Juli 2011)

Dikutip: http://gagasanhukum.wordpress.com/2011/07/21/sesat-pikir-ruu-bpjs

Posting Komentar

0 Komentar