UMK Belum 100% KHL

Keringat Buruh. Konsep upah layak memang belum menjadi istilah resmi yang diterima oleh pemerintah. Istilah yang selama ini dikenal adalah upah minimum yang dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak. Untuk itu, UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan bahwa upah minimum yang selama ini menjadi acuan pengupahan mestinya dapat memenuhi kebutuhan hidup layak sebagaimana diatur dalam Permenaker Nomor Per-17/ Men/ VIII/ 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Faktanya, pengalaman buruh dan hasil penelitian yang dilakukan oleh SPN (Serikat Pekerja Nasional) dan Federasi Garteks KSBSI bersama AKATIGA di sembilan kota/kabupaten empat provinsi menunjukkan bahwa upah minimum belum mampu memenuhi kebutuhan hidup layak, bahkan pada buruh lajang. Upah minimum baru memenuhi 62,4 persen pengeluaran riil buruh rata-rata per bulan.

Untuk menutupi kekurangan itu, buruh harus bekerja lebih lama (mengandalkan lembur), bekerja sampingan, menggabungkan penghasilan anggota rumah tangga lainnya, meniadakan konsumsi untuk barang-barang tertentu, dan berutang. Mengapa bisa terjadi demikian? Penelitian ini menemukan bahwa ada beberapa persoalan mendasar terkait dengan penerapan dan konsep upah minimum.

Pertama, upah minimum yang seharusnya hanya berlaku untuk buruh lajang dengan masa kerja 0-1 tahun, ternyata diberlakukan juga untuk buruh dengan masa kerja hingga belasan tahun. Perbedaan upah antara buruh "baru" dengan buruh yang masa kerjanya sudah cukup lama, sangat kecil, hanya beberapa ribu rupiah.

Kedua, penelitian ini menemukan fakta bahwa 52 persen buruh sudah menikah dan memiliki tanggungan, 59 persen buruh lajang memiliki tanggungan selain dirinya sendiri. Dengan demikian, memberikan upah minimum yang didasarkan pada kebutuhan hidup buruh lajang berarti memaksa buruh untuk "berbagi kemiskinan". Pada saat upah minimum belum mencapai 100 persen KHL, buruh masih harus membaginya dengan anggota rumah tangga lainnya.

Ketiga, 46 komponen KHL berdasarkan peraturan tersebut tidak relevan lagi untuk kondisi saat ini. Penelitian ini menemukan bahwa setidaknya ada 163 komponen kebutuhan hidup yang harus dikonsumsi oleh buruh agar dapat hidup secara layak. Contoh komponen kebutuhan hidup yang pasti dikonsumsi (dibeli/dianggarkan dalam pengeluaran) oleh buruh tetapi tidak termasuk dalam KHL versi Permenaker 17/2005 antara lain setrika, sumbangan kemasyarakatan, dan biaya pendidikan anak untuk buruh yang sudah berkeluarga. Buruh juga membutuhkan rumah yang bersih dan sehat, sementara dalam komponen KHL, kebutuhannya dihitung hanya untuk kontrak kamar. Untuk perumahan, buruh seharusnya bisa memiliki rumah sekalipun tipe sederhana.

Secara umum, dalam penelitian ini, kebutuhan hidup layak mengacu pada kebutuhan hidup yang harus dipenuhi agar seorang pekerja dan keluarganya dapat hidup layak dan mampu mereproduksi kembali tenaganya sehingga menjadi lebih produktif.

Kemudian masalah upah adalah masalah dalam hubungan kerja, yang terkait dengan masalah produksi dan reproduksi. Dalam hal ini, peran pemerintah relatif masih terbatas. Akan tetapi bagaimana dengan kebutuhan hidup layak? Apakah pemenuhan kebutuhan hidup layak melulu tanggung jawab pengusaha? Upah memang seharusnya bisa memenuhi kebutuhan hidup layak. Bila hal ini bisa diatasi maka buruh boleh berharap bahwa upah sebesar KHL bisa dicapai. Jika dalam hal prasyarat tersebut belum bisa dipenuhi maka pemerintah harus mencari solusi untuk memenuhi KHL tersebut sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap warga negara.

Posting Komentar

0 Komentar