Dualisme Kepemimpinan Serikat dalam Perusahaan

Keringat Buruh, Dualisme kepemimpinan di suatu organisasi, tidak terkecuali organisasi serikat pekerja/serikat buruh terkadang memang merupakan suatu fenomena dan hal yang tentu memusingkan banyak anggotanya. Terlebih apabila undang-undang yang terkait  tidak mengatur mengenai mekanismenya.


Di lain sisi pengusaha memang tidak bisa berbuat banyak dalam soal dualisme kepemimpinan serikat pekerja. Dengan kata lain, pengusaha tidak bisa dan bahkan tidak boleh melakukan intervensi atau ikut campur dalam soal internal serikat pekerja, termasuk soal kepengurusan. Demikian juga pemerintah (Disnaker) tidak boleh mencampuri urusan dualisme di internal serikat pekerja (Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh – “UU 21/2000”).

Kondisi serikat pekerja yang memiliki dualisme kepemimpinan dalam menyusun atau membuat perjanjian kerja bersama (“PKB”), Pengusaha tentu bermitra dengan pengurus yang telah mempunyai legal standing sebagai pihak dalam kepengurusan serikat (persona standi in judicio). Kalau belum ada pengurus yang legal (terkait adanya dualisme), maka sikap pengusaha menunggu sampai terbentuknya satu pengurus yang representatif dan resmi serta cakap bertindak (vide Pasal 1320 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [“KUHPer”] jo Pasal 330 dan Pasal 1329 serta Pasal 1330 KUHPer).

Terkait dengan permasalahan tersebut lakukan konsolidasi (internal para pengurus serikat yang berselisih) melalui lembaga musyawarah untuk mencapai mufakat.  Jika dipandang perlu, libatkan orang tertentu yang arif dan bijak serta (dipastikan) netral untuk menjadi penengah (“mediator“ atau fasilitator). Tentukan aturan main yang jelas dan tegas sampai pada penyelesaian (dualisme) secara tuntas. Apabila masih juga menemui jalan buntu, solusinya: selesaikan di “muka hakim”. Apapun yang diputuskan oleh Hakim, itulah yang setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) harus diterima dan wajib dipatuhi oleh semua pihak (internal, maupun eksternal serikat), termasuk oleh pengusaha.

Pengadilan yang berwenang memeriksa perselisihan seperti dualisme serikat pekerja, jika mencermati ketentuan Pasal 2 huruf d UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”), bahwa salah satu jenis perselisihan hubungan industrial, (antara lain) adalah perselisihan antar-serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Perselisihan antar-serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, adalah perselisihan antar-serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lainnya hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan (Pasal 1 angka 5 UU No. 2/2004).

Dari definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa perselisihan mengenai dualisme kepemimpinan dalam satu serikat, ternyata tidak termasuk dalam jenis dan wilayah perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004. Dengan perkataan lain, perselisihan mengenai sengketa kepengurusan dalam satu serikat pekerja tidak dapat diselesaikan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial atau LPPHI (sebagaimana dimaksud Pasal 136 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) yang dilakukan secara berjenjang melalui 4 (empat) tahapan, yakni: 
(a) mekanisme perundingan bipartit; 
(b) mekanisme tripartit: mediasi atau –melalui- konsiliasi, ataukah melalui arbitrase;
(c) prosedur di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI); dan/atau 
(d) kasasi Mahkamah Agung (vide Pasal 6, Pasal 8, Pasal 17, Pasal 29, Pasal 56 dan Pasal 114 UU No. 2/2004).

Bahkan, undang-undang tidak menegaskan mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan internal suatu serikat, dan tidak mengatur pemberitahuan dan pencatatan pergantian kepengurusan serikat (vide Bab II dan III Kepmenakertrans No. Per-16/Men/2001). Sebaliknya, undang-undang hanya mengatur penyelesaian perselisihan antar suatu serikat dengan serikat lainnya dalam satu perusahaan (vide Pasal 35 UU No. 21/2000).

Oleh karena perselisihan kepengurusan ganda bukan merupakan kompetensi PHI atau LPPHI, maka tentu harus diselesaikan melalui peradilan umum (yakni Pengadilan Negeri dan seterusnya), bahkan bisa jadi  juga melibatkan Pengadilan Niaga jika berkenaan dengan separatisme serikat dan terjadi “perebutan” logo, merek (vide Pasal 77 dan Pasal 80 ayat [1] UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek).

Posting Komentar

0 Komentar